Pengendalian Penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever) melalui Manajemen Risiko



Pengendalian Penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever) melalui Manajemen Risiko

Pembangunan peternakan di Indonesia telah mendorong berkembangnya berbagai jenis ternak sumber pangan masyarakat. Budidaya berbagai komoditas ternak seperti sapi, kerbau, kambing, domba, ayam dan itik, telah menjadi mata pencaharian sebahagian petani Indonesia. Sebagai sumber protein, maka permintaan pangan asal ternak cukup tinggi sehingga pada beberapa komoditas mengalami kekurangan, misalnya kebutuhan daging sapi yang saat ini Indonesia masih defisit sebesar 32,59% (Ditjennak 2021).

Populasi ternak sapi dan kerbau di Indonesia sebanyak 19,16 juta ekor (tahun 2020) terus diusahakan untuk ditingkatkan, tetapi dalam pengembangannya perlu memperhatikan pengembangan ternak lain, misalnya pengembangan ternak domba. Untuk pengembangan ternak sapi, khususnya sapi Bali, pemeliharaannya tidak dapat disatukan dalam satu kawasan atau kelompok dengan ternak domba. Hal ini karena ternak domba merupakan salah satu pembawa (reservoir) penyakit yang dapat menyerang ternak sapi Bali dan kerbau yaitu  Malignant Catarrhal Fever (MCF) atau lebih dikenal dengan penyakit ingusan menular. Ternak domba secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir tidak menunjukkan gejala klinis  penyakit MCF.

Penyakit MCF mempunyai gejala klinis seperti ternak mengalami demam tinggi, ada cairan kental dari mata dan hidung, kornea mata keruh, diare, pembengkakan pada kelenjar limfoglandula (terdapat di leher, ketiak dan lipatan paha), kejang-kejang dan tremor. Penyakit ini dapat menyerang ternak sapi sapi Bali dan dapat mencapai kematian sebesar 20%. Selain sapi Bali, penyakit ini juga dapat menyerang jenis sapi Peranakan Ongole (PO) dan Brahman serta kerbau. Adanya usaha masyarakat untuk mengembangkan ternak domba disuatu kawasan, perlu juga memperhatikan pengembangant ternak sapi dan kerbau atau sebaliknya sehingga tidak berimbas pada munculnya penyakit MCF. Penyakit MCF biasanya bersifat sporadis dengan tingkat morbiditas (tingkat kesakitan) rendah, namun mempunyai tingkat kematian sangat tinggi hingga mencapai 100%. Kasus penyakit ini lebih sering terjadi pada musim hujan dan faktor stres dianggap sebagai faktor pemicu (predisposisi)  bagi MCF. Saat ini penyakit telah tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Namun demikian, di beberapa daerah banyak kejadian MCF tidak terdiagnosis atau tidak dilaporkan.

Penyakit MCF disebabkan oleh virus, yang termasuk ke dalam genus Macavirus (Rhadinovirus), famili Herpesviridae, subfamili Gammaherpesvirinae. Dikenal ada dua virus penyebab MCF yang secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan yaitu Wildebeest-Associated MCF (WA-MCF)  dan Sheep-Associated MCF (SA-MCF). Penularan terjadi pada saat ternak sapi melakukan kontak dengan ternak domba. Virus penyebab SA-MCF disebut dengan Ovine Herpervirus-2 (OVHV-2).

Virus OVHV-2 dapat bertahan sampai 13 hari hari pada kondisi lingkungan lembab dan stabil antara pH 5,5-8,5 namun virus ini akan mati dengan penambahan desinfektan antara lain sodium hipockhlorite (3%). Tingkat kepekaan ternak terhadap virus ini jika diurutkan adalah sapi Bali, sapi Bali persilangan, kerbau, sapi Ongole dan sapi Brahman. Secara alami virus tidak ditularkan dari hewan peka (misalnya sapi) ke sapi lainnya. Namun sapi tertular dapat menularkan virus ini kepada domba lain yang sebelum tidak mengandung virus  OVHV-2.

Provinsi Riau, sabagai salah satu daerah pengembangan ternak sapi dan kerbau, mempunyai populasi ternak sapi sebesar 209.669 ekor dan kerbau mencapai 31.991 ekor. Untuk itu sangat penting melakukan upaya pengamanan dan penyelamatan terhadap populasi yang ada. Hal ini dilakukan karena populasi yang ada merupakan aset, baik bagi petani maupun pemerintah, dalam upaya meningkatkan populasi dan keragaman produk ternak. Dalam perspektif kesehatan hewan, mengamankan ternak tempatan (lama) dan tindakan penyelamatan ternak baru dalam suatu populasi merupakan sebuah keputusan yang diambil berdasarkan manajemen resiko. Apalagi terkait dengan tingginya minat peternak dalam memelihara dan pengembangan ternak tertentu khusus ternak domba. Tidak dapat dipungkiri bahwa ternak domba juga berpotensi besar menghasilkan produk yang bermanfaat (daging, susu, wol).

Pengendalian kesehatan hewan khususnya MCF tidak terlepas dari keputusan dalam manajemen risiko. Manajemen risiko dalam pengendalian penyakit ternak bertujuan untuk mengurangi dampak wabah penyakit terhadap kesehatan populasi ternak, meminimalkan kerugian ekonomi (akibat pemusnahan hewan atau pembatasan lalu lintas hewan), meminimalkan gangguan perdagangan dan meningkatkan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat pada kejadian wabah penyakit zoonotic (bersifat menular). Manajemen risiko kesehatan hewan ini akan memberikan gambaran tentang epidemiologi penyakit, perkembangan kasus MCF, dan upaya pengendalian khususnya di Provinsi Riau.

Situasi MCF di Indonesia banyak dilaporkan hampir diseluruh kantong-kantong produksi ternak sapi Indonesia. Dalam kurun waktu tahun 2021, terdapat kejadian endemis di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan. Dari ke-13 provinsi tersebut terdapat empat provinsi yang tingkat kejadiannya cukup tinggi yaitu NTB, Jatim, NTT dan Bali. Pada kejadian di Provinsi Bengkulu, wabah MCF pada sapi Bali terjadi di daerah transmigrasi Provinsi Bengkulu yang telah memiliki kelompok domba. Kasus lainnya juga terjadi di Bogor, yang diketahui sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan kandang domba. Selain itu, ada kejadian MCF subklinis pernah dilaporkan pada sapi Bali yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Mataram, Banyuwangi, Kendari dan Denpasar.

Adapun pengamatan di Provinsi Riau terhadap MCF didapat dari pelaksanaan kegiatan pemantauan (monitoring) MCF di lapangan. Pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel pada domba ada disekitar wilayah peternakan sapi. Sampel yang diambil berupa darah dan dikirim oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau ke Balai Penelitian Veteriner Bogor. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa dari 50 sampel yang diperiksa, yang berasal dari lima kabupaten (Bengkalis, Siak, Kampar, Pelalawan dan Rokan Hilir) terdapat 54% sampel menunjukkan adanya virus OVHV-2 dengan kasus terbanyak ada di Kabupaten Rokan Hilir yaitu 9 sampel atau 90%. Sedangkan di kabupaten Pelalawan tidak ditemukan sampel yang posisif virus OVHV-2. Pengamatan dengan hasil poisitf yang cukup tinggi juga terjadi di Kabupaten Bengkalis dan Siak yaitu sebanyak 70%, sedangkan Kabupaten Kampar 40%.

Hasil monitoring ini, merupakan warning bagi pemangku kebijakan karena dari lima daerah yang diamati ternyata empat diantaranya terdapat domba yang dapat menularkan penyakit MCF. Hal ini mesti diwaspadai dan perlu dilakukan mitigasi dalam bentuk manajemen risiko. Mitigasi jalur resiko berguna mengetahui bagaimana bahaya (hazard) bisa sampai ke ternak sehat. Kemungkinan penularan virus OVHV-2 dari domba kepada ternak sapi/kerbau dapat ditularkan oleh anak domba yang dilahirkan dari induk domba yang terinfeksi. Anak domba yang terinfeksi berikutnya akan menginfeksi kwananan domba baik kawanan anak-anak domba maupun domba dewasa. Kontak langsung antara domba terinfeksi tersebut akan menyebabkan penularan virus dengan sapi/kerbau tempatan lainnya. Selain penularan virus melalui transmisi induk ke anak domba dan kontak langsung dengan hewan terinfeksi, penularan virus dari domba kepada kawanan sapi/kerbau juga dapat terjadi melalui udara, melalui tangan dan pakaian pekerja, pakan (rumput), minuman, peralatan yang dipakai bersama tercemar oleh virus.

Selain mitigasi risiko, maka pengawasan terhadap kemungkinan tempat-tempat pengawasan yang terlibat sehingga memungkinkan ternak-ternak domba masuk ke Provinsi Riau. Untuk itu maka mengetahui alur tapak biologis dari suatu bahaya MCF yang mungkin masuk dari luar Provinsi Riau menjadi sangat penting. Tindakan terencana dan berkelanjutan dimulai dari tempat asal ternak berada yaitu dari tempat peternakan, pengepul maupun asal ternak. Proses dibawanya ternak diproeses pengeluarannya oleh dinas teknis baik dari Dinas Peternakan asal ternak maupun dari Karantina. Ternak yang keluar akan datang ke Provinsi Riau melalui alat angkut ternak baik kapal ataupun truk angkut ternak. Proses pengawasan di daerah tujuan (Provinsi Riau) akan dicek kembali oleh petugas perbatasan daerah (check point) ataupun di karantina kedatangan sebelum masuk ke wilayah peternakan, pengepul, pasar ternak maupun di tempat pemotongan ternak. Risiko bahaya dari tempat tersebut akan menjadi mulai masuknya virus OVHV-2 ke ternak tempatan lainnya di wilayah Provinsi Riau.

Selain pengamatan terhadap hasil pemeriksaan sampel darah domba, juga dilakukan analisis resiko terhadap jalur masuknya ternak domba dari luar dan di dalam Provinsi Riau.  Hasil analisis resiko dari pengamatan tersebut diketahui bahwa dalam pengendalian penyakit MCF, provinsi Riau termasuk dalam kategori sedang, yang berarti bahwa adanya pemasukan domba ke Provinsi Riau mempunyai resiko rendah terhadap penyebaran pneyakti MCF tetapi memiliki dampak yang tinggi terhadap ekonomi seperti kematian, biaya pengendalian dan pemberantasan.  Kategori Sedang juga menginterpretasi Ketidakpastian Tinggi kakibat dari keterbatasan data atau ketiadaan informasi yang dapat diandalkan. Keterbatasan data tersebut adalah seperti populasi dan lokasi ternak domba (dewasa dan anak), data populasi dan lokasi ternak sapi/kerbau terdampak MCF, data cakupan pemeriksaan ternak domba melalui karantina, check point dan pengapalan serta data peternakan, pengepul, dan pasar ternak domba.

Belum ada vaksin yang prefentif ideal untuk penyakit MCF. Pada kejadian MCF maka prosedur treatment dan pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan therapy supportif untuk mengembalikan kondisi ternak yang sakit. Jika ada kematian ternak maka harus segera  disingkirkan dengan cara dimusnahkan (dikubur, dibakar). Jika ingin disembelih, dilakukan dengan pengawasan ketat dari petugas. Kegiatan pencegahan yang dilakukan adalah melakukan desinfeksi dengan baik pada peralatan, kandang dan sarana yang ada di sekitar kandang dan penguatan sistem imun tubuh ternak pada sapi/kerbau rentan dengan cara memberikan pakan yang bergizi.

Dalam upaya meningkatkan manajemen risiko terhadap penyebaran penyakit MCF, maka dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di wilayah masing-masing harus melakukan pembinaan kepada peternak. Pembinaan yang dilakukan berupa penerapan pedoman beternak yang baik (Good Farming Practice), menerapkan prosesur biosecurity yang ketat, mengenali tanda klinis MCF dan segera melaporkan kasus dan dugaan MCF kepada instansi terkait dan mensosialisasikan.

Dari sisi infrastruktur dan sumberdaya manusia maka kompetensi puskeswan dan dokter hewan serta paramedik lapangan harus ditingkatkan dan petugas yang terlibat, dapat melakukan pendekatan partisipatif kepada peternak dan melaporkan secara aktif kejadian penyakit pada ternak sapi/kerbau kepada petugas dan aktif dalam pengendalian dan pencegahan MCF. Selanjutnya, petugas dan petani dapat  merancang dan menerapkan surveilans untuk deteksi dini MCF, menginvestigasi kasus atau dugaan MCF secara epidemiologis dan laboratoris serta melakukan pengawasan pemasukan ternak, pakan (rumput), buangan limbah baik secara legal maupun illegal serta mengkarantina ternak domba baru masuk. Dalam jangka panjang maka instansi terkait perlu berkolaborasi untuk memutakhirkan dan mengidentifikasi populasi domba per usaha ternak atau pemilik.

 

Kontributor :

drh. Rinny Tikaso (Fungsional Medik Veteriner Madya di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau)

Dr. Yuhendra, S.Pt, M.Si (Fungsional Perencana Muda di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau)

Program Provinsi

TOP